Our social:

Sabtu, 28 Juni 2025

Ketika Trump Jadi Jurubicara Zionisme Global


Ketika dunia mengutuk keras tindakan Israel di Gaza, Presiden Amerika Serikat Donald Trump justru tampil sebagai pembela paling vokal dari negara tersebut. Dalam berbagai pidato dan wawancara, Trump tampak lebih seperti jurubicara Israel daripada pemimpin negara adidaya. Ia memuji Israel secara berlebihan, mengabaikan fakta-fakta kemanusiaan, bahkan mendesak negara-negara Arab untuk menerima jutaan pengungsi Palestina demi mengosongkan Gaza. Sikap Trump ini semakin menegaskan bahwa dalam konflik Palestina-Israel, Amerika Serikat di bawahnya bukan sekadar sekutu, tapi telah menjadi perpanjangan lidah dan tangan dari proyek zionisme global.

Trump bahkan secara terang-terangan menyebut bahwa “tidak ada cara lain bagi Palestina selain pergi dari Gaza”, sebuah pernyataan yang selaras dengan narasi pemindahan paksa yang dikecam dunia internasional sebagai bentuk pembersihan etnis. Lebih dari sekadar opini politik, ucapannya merefleksikan ideologi yang berpihak penuh pada supremasi Israel atas wilayah-wilayah pendudukan. Di tengah penderitaan rakyat Palestina yang menghadapi genosida, Trump justru mendorong narasi pembangunan kembali Gaza tanpa orang Palestina di dalamnya.

Dukungan Trump terhadap Israel bukan hanya dalam bentuk retorika. Pemerintahannya aktif menggunakan kekuatan negara untuk melindungi Israel dari kritik hukum internasional. Salah satu langkah paling ekstrem adalah saat Amerika Serikat menjatuhkan sanksi terhadap jaksa-jaksa Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) yang berani menyelidiki dugaan kejahatan perang dan genosida oleh Israel di Gaza dan Tepi Barat. Tindakan ini menuai kecaman dari para ahli hukum karena mencederai prinsip independensi lembaga peradilan internasional.

AS menjadi satu-satunya negara besar yang secara terbuka menggunakan kekuatan ekonominya untuk melumpuhkan proses hukum terhadap Israel. Hal ini memperlihatkan bahwa Washington tak lagi netral, tetapi telah menjelma menjadi benteng pertahanan bagi Israel dalam menghadapi opini dan tekanan global. Sementara negara-negara lain menyerukan keadilan bagi korban sipil di Gaza, AS di bawah Trump justru menyerang institusi hukum yang hendak menegakkan keadilan.

Fenomena ini tidak terjadi begitu saja. Israel sejak lama dikenal memiliki mesin propaganda canggih bernama “hasbara”. Dalam bahasa Ibrani, hasbara berarti penjelasan, namun secara fungsional ia merupakan bentuk diplomasi publik yang dirancang untuk membentuk opini global demi membela setiap tindakan Israel, apapun bentuknya. Hasbara telah menjadi alat perang informasi yang efektif dan menyusup hingga ke ruang-ruang diskusi politik, media, universitas, dan bahkan lembaga non-pemerintah.

Melalui program beasiswa, pelatihan jurnalisme, dan dana hibah, Israel membina generasi pembela narasi zionis yang kemudian menyebarkan propaganda halus di berbagai negara. Mereka tidak menghalangi aliran informasi yang bertentangan, tetapi membentuk ekosistem informasi yang membuat publik hanya mau menerima informasi yang menguntungkan Israel. Inilah kekuatan hasbara—menyeleksi kesadaran, bukan menyensor berita.

Dalam konteks ini, Trump dan sebagian besar media arus utama di Barat menjadi bagian dari infrastruktur hasbara. Penyebutan “bentrokan” untuk menggambarkan penyerangan brutal terhadap warga Palestina, atau penggunaan frasa “hak membela diri” untuk membenarkan serangan udara ke kamp pengungsi, adalah narasi yang sudah didikte sejak awal oleh mesin propaganda Israel. Bahkan ketika ratusan anak-anak terbunuh, pemberitaan tetap bernuansa netral seolah-olah tidak ada korban sipil.

Trump tahu betul bahwa persepsi membentuk realitas. Maka ia menjadi penggaung utama narasi hasbara—bahwa Palestina adalah ancaman, bahwa Hamas mewakili seluruh rakyat Palestina, dan bahwa kekerasan Israel adalah bentuk pertahanan. Di sisi lain, ketika dunia menyuarakan simpati terhadap korban, Trump menuding itu sebagai bentuk anti-semitisme, sebuah label yang sering disalahgunakan untuk membungkam kritik terhadap Israel.

Peran Trump sebagai buzzer zionisme juga terlihat dari langkah-langkah simbolik seperti memindahkan Kedutaan Besar AS ke Yerusalem, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, serta menekan negara-negara Arab agar menormalisasi hubungan dengan Israel lewat Abraham Accords. Semua ini dilakukan tanpa memperhatikan penderitaan jutaan pengungsi Palestina yang terusir dari tanah mereka sendiri.

Hasbara juga menjangkau media sosial, tempat opini publik dibentuk dengan sangat cepat. Ribuan akun otomatis, influencer, dan blog dikerahkan untuk membingkai kekerasan sebagai tindakan yang sah. Dan Trump dengan puluhan juta pengikutnya di platform digital, menjadi amplifier terbesar dari narasi ini. Setiap cuitannya membawa dampak geopolitik yang besar karena disampaikan dari posisi kekuasaan dan karisma politik.

Dampaknya sangat nyata. Banyak warga Barat yang dibutakan oleh narasi “dua pihak bersalah” tanpa menyadari ketimpangan besar dalam konflik ini. Mereka tidak tahu bahwa satu pihak adalah penjajah dan pihak lain adalah korban penjajahan. Trump berhasil menciptakan atmosfer kebingungan informasi, dan Israel menuai manfaatnya secara politik dan militer.

Di balik serangan udara dan runtuhan bangunan di Gaza, ada operasi propaganda sistematis yang menutupi fakta dan membangun persepsi. Hasbara adalah bagian dari senjata, sama pentingnya dengan rudal dan drone. Dan Trump adalah bagian dari senjata itu—seorang jurubicara tidak resmi dari ideologi zionisme yang mengklaim hak eksklusif atas tanah dan sejarah.

Namun dunia mulai membuka mata. Aktivis, akademisi, dan jurnalis independen mulai membongkar konstruksi narasi yang menipu ini. Mereka menunjukkan bahwa di balik wajah “perdamaian” dan “demokrasi”, ada praktik apartheid, kolonialisme, dan pembersihan etnis yang didukung oleh negara besar seperti AS. Mereka menyuarakan bahwa Palestina bukan sekadar korban, tetapi bangsa yang berhak hidup merdeka di tanahnya sendiri.

Masa depan Palestina tidak bisa ditentukan oleh hasbara, apalagi oleh buzzer seperti Trump. Dunia harus kembali pada nurani dan hukum internasional. Tidak boleh ada impunitas bagi kejahatan perang. Trump mungkin telah menjual prinsip keadilan demi politik dan minyak, tetapi suara kemanusiaan tidak bisa dibungkam selamanya. Palestina akan terus hidup dalam perjuangan dan kebenaran akan menemukan jalannya.

0 komentar: