Aliran Sesat Dan Terapi Sosial
Menyikapi banyaknya bermunculan fenomena aliran sesat sekarang sungguh sangat membingungkan masyarakat. Bagai rematik yang kadang-kadang kumat, tidak ada yang tahu bagaimana penyelesaian kasus-kasus tersebut, walau sumber dan inti permasalahan telah ditemukan.
Di balik fenomena aliran sesat...
Sebenarnya bila kita melihatnya dari kaca mata sosiologi maupun psikologi agama, fenomena aliran sesat adalah sesuatu yang sangat lumrah. Agama sebagai sebuah keyakinan yang juga merupakan ilmu pengetahuan cenderung dan bisa saja mengalami deviasi terutama bagi mereka yang memahaminya secara terpotong-potong.
Dalam pemahaman agama misalnya, manusia sebenarnya berada level-level yang berbeda seiring dan sesuai dengan tingkat pemahaman dan IQ pemilik keyakinan tersebut. Selain itu, pemahaman agama dapat juga bervariasi sesuai dengan bervariasinya keadaan gegrafi, iklim, lingkungan dan bahkan infrastruktur.
Dalam hal infrastruktur ini misalnya, orang-orang Jakarta tidak dapat mencap praktek agama Islam sebagian masyarakat Papua yang tidak sesuai dan tidak umum, seperi yang ada di Jakarta, sebagai aliran sesat.
Di Papua, orang-orang Muslimnya sangat miskin, tidak ada sumber daya untuk memajukan ummat apalagi di sana infrastruktur sangatlah minim. Keterbatasan dana misalnya, membuat sebagian masyarakat di sana tidak dapat menyekolahkan anaknya apalagi untuk belajar agama yang dipandangtidak ada gunanya karena akan menjadi pengangguran yang sangat sulit mencari pekerjaan apalagi menjadi PNS. Banyak orang yang berkorban menjadi guru agama dengan gaji dan penghasilan paspasan bahkan bersedia menjadi fakir tapi tidak jarang pula yang tidak mau melakukannya.
Akibatnya regenarai imam dan pengajar ajaran agama menjadi nihil. Pengetahuan agama menjadi stagnant, pemahaman akan ayat-ayat Tuhan menjadi terhenti, sehingga ummat di sana terpaksa menggunakan imam dan tokoh seadanya, tentu dengan pengetahuan agama seadanya. Makanya jangan heran misalnya, dalam menyembah mereka masih menggunakan asap, dupa dan alat-alat lain yang berasal dari kreasi sendiri.
Di balik fenomena aliran sesat...
Sebenarnya bila kita melihatnya dari kaca mata sosiologi maupun psikologi agama, fenomena aliran sesat adalah sesuatu yang sangat lumrah. Agama sebagai sebuah keyakinan yang juga merupakan ilmu pengetahuan cenderung dan bisa saja mengalami deviasi terutama bagi mereka yang memahaminya secara terpotong-potong.
Dalam pemahaman agama misalnya, manusia sebenarnya berada level-level yang berbeda seiring dan sesuai dengan tingkat pemahaman dan IQ pemilik keyakinan tersebut. Selain itu, pemahaman agama dapat juga bervariasi sesuai dengan bervariasinya keadaan gegrafi, iklim, lingkungan dan bahkan infrastruktur.
Dalam hal infrastruktur ini misalnya, orang-orang Jakarta tidak dapat mencap praktek agama Islam sebagian masyarakat Papua yang tidak sesuai dan tidak umum, seperi yang ada di Jakarta, sebagai aliran sesat.
Di Papua, orang-orang Muslimnya sangat miskin, tidak ada sumber daya untuk memajukan ummat apalagi di sana infrastruktur sangatlah minim. Keterbatasan dana misalnya, membuat sebagian masyarakat di sana tidak dapat menyekolahkan anaknya apalagi untuk belajar agama yang dipandangtidak ada gunanya karena akan menjadi pengangguran yang sangat sulit mencari pekerjaan apalagi menjadi PNS. Banyak orang yang berkorban menjadi guru agama dengan gaji dan penghasilan paspasan bahkan bersedia menjadi fakir tapi tidak jarang pula yang tidak mau melakukannya.
Akibatnya regenarai imam dan pengajar ajaran agama menjadi nihil. Pengetahuan agama menjadi stagnant, pemahaman akan ayat-ayat Tuhan menjadi terhenti, sehingga ummat di sana terpaksa menggunakan imam dan tokoh seadanya, tentu dengan pengetahuan agama seadanya. Makanya jangan heran misalnya, dalam menyembah mereka masih menggunakan asap, dupa dan alat-alat lain yang berasal dari kreasi sendiri.
Dalam tingkat tertentu, praktek-praktek ini masih bisa diubah saat ada datang penyuluh agama dari pihak yang berwajib, katakanlah NU atau Muhammadiyah. Tapi bayangkan misalnya, bila dalam hitungan tahun, dekade bahkan abad... tidak ada sama sekali seorang ahli agama yang datang memberi penjelasan dan pencerahan..
Saat nasi telah jadi ubuh, saat kebiasaan telah menjadi adat, saat adat telah menjadi budaya, saat budaya telah menjadi peradaban. Maka terciptalah sebuah aliran sesat... sesat menurut mereka yang selama ini cuek dan tidak ambil pusing..
Siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab dalam kasus ini??? Tokoh masyarakat setempat??? pemerintah daerah???? atau organisasi agama??? hmmm.. bukanlah Islam di Indonesia tidak mengenal organisasi agama. Lalu apakah NU dan Muhammadiyah itu, alah itu cuma organisasi massa..
Kevakuman inilah yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang memegang kuasa dalam ummat. Mereka yang diberi kepercayaan menjadi pemimpin keagamaan, seperti ulama, syeikh, ustadz dan lain sebagainya. Mereka yang serta merta mencap itu sebagai alisan sesat tanpa bertindak sedini mungkin untuk mencegahnya.
Bila contoh kasus tersebut dikatakan sebagai deviasi pemahaman agama akibat keterisolasian yakni teralienasi akibat posisi daerah tersebut dari pusat perkembangan agama maka contoh alienasi lain sebenarnya bisa juga terjadi di perkotaan.
Kasus Al-qiyadah al- islamiyah sebenarnya juga merupakan contoh dari beberapa korban akibat proses alienasi ini. Maka sebenarnya, harus ada proses-proses yang secara berkesinambungan harus dilakukan demi mengikis dan menjamin terciptanya masyarakat yang dinamis sehingga dampak buruk alienasi ini dapat dihindarkan, walaupun sebenarnya alienasi sosial adalah takdir dan hukum sosial yang sampai akhir zaman akan terus eksis.
Bagi sebagian orang, Aliran Sesat itu bukan saja sebuah cambukan atas ummat Islam, tapi juga sebagai tamparan kepada organisasi-organisasi massa yang besar dan beraliran agama yang nampaknya sibuk sendiri dan cuek terhadap permasalahan ummat, khususnya ummat-ummat yang minoritas. Mereka-mereka yang berada di luar garis mayoritas pemahaman agama tapi sangat haus dengan pencerahan.
NU dan Muhammadiyah, seharusnya bertindak cepat melakukan langkah-langkah pencerahan yang secara terus menerus memberi minum mereka yang haus dengan kebenaran. Bila ini dilakukan dengan semangat 'tahi-tahi ayam' maka hanya waktu yang dapat menjawab kapan revolusi agama akan berlangsung.
Saat nasi telah jadi ubuh, saat kebiasaan telah menjadi adat, saat adat telah menjadi budaya, saat budaya telah menjadi peradaban. Maka terciptalah sebuah aliran sesat... sesat menurut mereka yang selama ini cuek dan tidak ambil pusing..
Siapakah sebenarnya yang bertanggung jawab dalam kasus ini??? Tokoh masyarakat setempat??? pemerintah daerah???? atau organisasi agama??? hmmm.. bukanlah Islam di Indonesia tidak mengenal organisasi agama. Lalu apakah NU dan Muhammadiyah itu, alah itu cuma organisasi massa..
Kevakuman inilah yang tidak dapat dilihat oleh mereka yang memegang kuasa dalam ummat. Mereka yang diberi kepercayaan menjadi pemimpin keagamaan, seperti ulama, syeikh, ustadz dan lain sebagainya. Mereka yang serta merta mencap itu sebagai alisan sesat tanpa bertindak sedini mungkin untuk mencegahnya.
Bila contoh kasus tersebut dikatakan sebagai deviasi pemahaman agama akibat keterisolasian yakni teralienasi akibat posisi daerah tersebut dari pusat perkembangan agama maka contoh alienasi lain sebenarnya bisa juga terjadi di perkotaan.
Kasus Al-qiyadah al- islamiyah sebenarnya juga merupakan contoh dari beberapa korban akibat proses alienasi ini. Maka sebenarnya, harus ada proses-proses yang secara berkesinambungan harus dilakukan demi mengikis dan menjamin terciptanya masyarakat yang dinamis sehingga dampak buruk alienasi ini dapat dihindarkan, walaupun sebenarnya alienasi sosial adalah takdir dan hukum sosial yang sampai akhir zaman akan terus eksis.
Bagi sebagian orang, Aliran Sesat itu bukan saja sebuah cambukan atas ummat Islam, tapi juga sebagai tamparan kepada organisasi-organisasi massa yang besar dan beraliran agama yang nampaknya sibuk sendiri dan cuek terhadap permasalahan ummat, khususnya ummat-ummat yang minoritas. Mereka-mereka yang berada di luar garis mayoritas pemahaman agama tapi sangat haus dengan pencerahan.
NU dan Muhammadiyah, seharusnya bertindak cepat melakukan langkah-langkah pencerahan yang secara terus menerus memberi minum mereka yang haus dengan kebenaran. Bila ini dilakukan dengan semangat 'tahi-tahi ayam' maka hanya waktu yang dapat menjawab kapan revolusi agama akan berlangsung.
0 komentar:
Posting Komentar