Our social:

Jumat, 16 Desember 2016

Opini: Fenomena Dimas Kanjeng Menurut Islam

Oleh Lukman Hakim

SATU fenomena menghebohkan kembali menyeruak melanda bangsa Indonesia. Belum lagi misteri kematian Mirna terkuak, kini muncul fenomena Dimas Kanjeng Taat pribadi yang menghiasi hampir semua media massa. Tayangan YouTube yang mempelihatkan kemampuan seorang pimpinan padepokan dalam menggandakan uang, telah mencetus pro dan kontra opini dalam masyarakat. Penampakan pria paruhbaya ini memang penuh misteri, matanya bercelak, jubahnya yang hitam kelam, matanya yang tajam semakin menyempurnakan kemisteriusannya.

Bagi kalangan yang percaya, fenomena ini dipahami sebagai sebuah keajaiban nusantara. Keberadaan Dimas Kanjeng Taat pribadi diyakini sebagai reinkarnasi atau titisan para wali dengan sejuta kemampuan metafisika atau kemapuan adi kodrati. Sebaliknya bagi kalangan membantah, fenomena penggandaan uang di padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi tidak lebih dari penipuan yang dibumbui simbol-simbol agama.

Simpul analisis

Mencermati fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi ini, setidaknya ada beberapa simpul analisis yang mungkin dapat membedahnya: Pertama, fenomena ini memperlihatkan sebuah kegalauan mental masyarakat Indonesia dalam menghadapi kesulitan hidup. Muncullah keinginan mencari jalan pintas dalam memperoleh rezeki. Makanya isu penggandaan uang ini cukup menjadi daya tarik bagi kalangan kelas bawah demi merubah nasib kemiskinan yang melekat pada status mereka. Analisis model ini masih kurang koleratif bagi pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dari kalangan elite, sebab mereka tidak bermasalah dengan kesulitan ekonomi tetapi besar kemungkinan mereka masuk dalam simpul analisis berikunya.

Kedua, fenomena ini menandakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia rentan aqidah dan spritualitas. Orang yang mempunyai basis akidah yang kukuh mungkin tidak akan mudah terpengaruh dengan ajaran yang aneh-aneh semacam ini. Apalagi kononnya Dimas Kanjeng Taat Pribadi menyebutkan dirinya sebagai maha guru kunfayakun yang bisa medatangkan apa saja yang diingini. Padahal, dalam akidah Islam lafaz kunfayakun ini dipahami sebagai kekuatan Ilahiyah dalam penciptaan alam yang hanya ada pada zat Allah. Menyamakan kemampuan Allah dengan kemampuan manusia ini dalam ukuran agama menjurus kepada prilaku kesyirikan.

Ketiga, kurangnya pemanfaatan potensi rasionalitas dan logika. Tumpul rasionalitas dan logika ini diakibatkan kecenderungan terhadap materi yang membungkah dalam jiwa. Menutupi indikator kebenaran, sehingga terjebak dalam prilaku aneh dan percaya kepada hal-hal yang irrasional sekalipun. Padahal dalam logika sederhana, kalau memang Dimas Kanjeng Taat Pribadi itu mampu menggandakan uang, mengapa ia harus meminta uang kepada orang lain, bukannya ia hanya perlu menggandakan uang yang ia miliki sebanyak yang ia inginkan?
Keempat, Pemahaman saint yang keliru. Ada kalangan yang menganggap bahwa fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi dapat dijelaskan secara saintifik terkini. Argumentasi ini mungkin keliru sebab fenomena metafisik ini memang melampaui ranah saintifik, baik sains klasik maupun sains modern sekalipun. Ranah sains dalam pemahaman klasik hanya mampu menjawab fenomena empirikal dalam bentuk pengukuran dan timbangan yang terhingga terhadap materi. Malah sains modern sekelas teori fisika kuantum yang telah meretasi ketakterhinggaan materi juga tidak dapat menjelaskan tentang fenomena misterius ini. Sebab teori fisika kuantum tidak dapat diproyeksikan pada benda material seperti uang, baik untuk diadakan, didatangkan atau digandakan.

Bukan hal asing

Dalam pandangan agama berbicara mengenai hal yang metafisik, ghaib dan adikodrati bukanlah hal yang asing. Secara epistemologi ranah kajian Islam itu tidak hanya sebatas benda materi (mahsusat) tetapi merangkumi juga hal yang non materi yang dapat difikirkan (ma’qulat). Oleh karenanya, secara epistemologi ilmu Islam itu selangkah lebih maju dari epistemologi umum yang hanya terfokus pada hal-hal empirikal.

Pembahasan agama Islam juga mengakomodir fenomena luar biasa (miracle) yang terjadi dalam alam ini. Fenomena keajaiban ini memang berada di luar ranah saintifik, namun Islam mencoba membahasnya dengan pendekatan keyakinan dan perasaan intuitif. Keajaiban ini dalam terminologi Islam dikategorikan dalam beberapa istilah seperti mukjizat, irhas, karamah, maunah, dan sihir.

Mukjizat merupakan sebuah kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah Swt kepada para rasul-Nya sebagai bukti kerasulan mereka. Sementara irhas adalah fenomena luar biasa yang ada pada calon rasul, seperti irhas Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul di mana awan selalu menaunginya kemana saja beliau pergi. Tentunya mukjizat dan irhas ini telah berakhir dalam alam ini, seiring dengan berakhirnya pengutusan para rasul ke alam ini.

Selanjutnya karamah dipahami sebagai keajaiban yang menyertai kehidupan sebagian waliullah, sebagai anugerah karena kedekatannya dengan Allah Swt. Orang yang mendapatkan karamah ini adalah mereka ahli-ahli sufi yang telah melampaui batas syariat dan telah memasuki alam hakikat. Hidup mereka jauh dari kepentingan duniawi dan materi, apalagi pengandaan uang, emas batangan dan perhiasan mewah lainnya.

Sepertinya semua terminologi Islam tentang keajaiban ini sulit dihubungkan dengan sosok Dimas Kanjeng Taat Pribadi, kecuali terminologi sihir (kahin), yaitu keajaiban yang terjadi atas bantuan syaitan dan terjadi pada orang yang jauh dari ajaran agama. Hal ini mungkin terjadi pada figur Dimas Kanjeng Taat Pribadi mengingat berapa testimoni mantan pengikutnya bahwa ia tidak bisa membaca Alquran meskipun adalah pimpinan padepokan.

Terlepas dari apa sebenarnya yang terjadi pada fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi, apakah sihir ataupun penipuan. Yang jelas kita harus waspadai adalah bahwa kejadian semacam ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Untuk itu, sejatinya kita senantiasa mempersiapkan diri dengan bekal akidah islamiah yang kuat, menghiasi diri dengan amal ibadah yang benar dan mejauhkan diri dari ketamakan terhadap harta benda. Dengan cara itu insya Allah kita akan dapat meningkatkan spiritualitas, potensi panalaran rasio dan logika, sehingga tidak terjabak dalam prilaku yang menyimpang, menipu dan menyesatkan. Wallahu ‘alam bishawab.!

* Dr. Lukman Hakim A.Wahab, M.Ag., Dosen Prodi Ilmu Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, darussalam, Banda Aceh. Email: loekman_af@yahoo.com

Sumber

0 komentar: