Latest Post
Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan, akhirnya Gatot Brajamusti mengakui telah melakukan hubungan seks dengan sejumlah perempuan anggota padepokan Brajamusti. Bukan hanya pengakuan dari Gatot seorang diri, Dewi Aminah, istrinya juga memperkuat pengakuan Gatot Brajamusti tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Awi Setiyono melalui sambungan telepon. Ia juga menegaskan, jika selama ini istrinya mengetahui perilaku seks Gatot Brajamusti kepada anggota Padepokan Brajamusti lainnya.
"Betul, GB mengakui melakukan itu (hubungan intim dengan anggota perempuan padepokan). Bahkan istrinya juga memperkuat pengakuan itu," ujar Kombes Pol Awi Setiyono saat dihubungi Bintang.com, Kamis (6/10/2016).
Kombes Pol Awi Setiyono juga mengatakan, hubungan badan itu tidak hanya dilakukan satu per satu dengan murid perempuannya, melainkan juga 'threesome'.
"Pernah, lebih dari satu orang (threesome). Selama ini istrinya juga ikut tahu. Semua sudah diceritakan," terang Awi lebih lanjut.
"Namun kita tetap akan melakukan tes DNA untuk memastikan semua pengakuan GB," imbuh Kombes Pol Awi Setiyono.
Sementara itu untuk penyelidikan tentang narkoba, Awi menyerahkannya kepada Polda NTB.
"Segera ditindaklanjuti karena setelah berlanjut kita akan gelar perkara," tutup Awi.
Seperti sudah diberitakan sebelumnya, kasus dugaan pencabulan Gatot Brajamusti terungkap ketika ada seorang korban melaporkan Gatot Brajamusti atas tuduhan pemerkosaan. Bahkan sejumlah perempuan mantan murid Gatot Brajamusti juga meminta perlindungan hukum untuk melaporkan Gatot Brajamusti sebagai korban seks Gatot. (sumber)
Oleh Lukman Hakim
SATU fenomena menghebohkan kembali menyeruak melanda bangsa Indonesia. Belum lagi misteri kematian Mirna terkuak, kini muncul fenomena Dimas Kanjeng Taat pribadi yang menghiasi hampir semua media massa. Tayangan YouTube yang mempelihatkan kemampuan seorang pimpinan padepokan dalam menggandakan uang, telah mencetus pro dan kontra opini dalam masyarakat. Penampakan pria paruhbaya ini memang penuh misteri, matanya bercelak, jubahnya yang hitam kelam, matanya yang tajam semakin menyempurnakan kemisteriusannya.
Bagi kalangan yang percaya, fenomena ini dipahami sebagai sebuah keajaiban nusantara. Keberadaan Dimas Kanjeng Taat pribadi diyakini sebagai reinkarnasi atau titisan para wali dengan sejuta kemampuan metafisika atau kemapuan adi kodrati. Sebaliknya bagi kalangan membantah, fenomena penggandaan uang di padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi tidak lebih dari penipuan yang dibumbui simbol-simbol agama.
Simpul analisis
Mencermati fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi ini, setidaknya ada beberapa simpul analisis yang mungkin dapat membedahnya: Pertama, fenomena ini memperlihatkan sebuah kegalauan mental masyarakat Indonesia dalam menghadapi kesulitan hidup. Muncullah keinginan mencari jalan pintas dalam memperoleh rezeki. Makanya isu penggandaan uang ini cukup menjadi daya tarik bagi kalangan kelas bawah demi merubah nasib kemiskinan yang melekat pada status mereka. Analisis model ini masih kurang koleratif bagi pengikut Dimas Kanjeng Taat Pribadi yang dari kalangan elite, sebab mereka tidak bermasalah dengan kesulitan ekonomi tetapi besar kemungkinan mereka masuk dalam simpul analisis berikunya.
Kedua, fenomena ini menandakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia rentan aqidah dan spritualitas. Orang yang mempunyai basis akidah yang kukuh mungkin tidak akan mudah terpengaruh dengan ajaran yang aneh-aneh semacam ini. Apalagi kononnya Dimas Kanjeng Taat Pribadi menyebutkan dirinya sebagai maha guru kunfayakun yang bisa medatangkan apa saja yang diingini. Padahal, dalam akidah Islam lafaz kunfayakun ini dipahami sebagai kekuatan Ilahiyah dalam penciptaan alam yang hanya ada pada zat Allah. Menyamakan kemampuan Allah dengan kemampuan manusia ini dalam ukuran agama menjurus kepada prilaku kesyirikan.
Ketiga, kurangnya pemanfaatan potensi rasionalitas dan logika. Tumpul rasionalitas dan logika ini diakibatkan kecenderungan terhadap materi yang membungkah dalam jiwa. Menutupi indikator kebenaran, sehingga terjebak dalam prilaku aneh dan percaya kepada hal-hal yang irrasional sekalipun. Padahal dalam logika sederhana, kalau memang Dimas Kanjeng Taat Pribadi itu mampu menggandakan uang, mengapa ia harus meminta uang kepada orang lain, bukannya ia hanya perlu menggandakan uang yang ia miliki sebanyak yang ia inginkan?
Keempat, Pemahaman saint yang keliru. Ada kalangan yang menganggap bahwa fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi dapat dijelaskan secara saintifik terkini. Argumentasi ini mungkin keliru sebab fenomena metafisik ini memang melampaui ranah saintifik, baik sains klasik maupun sains modern sekalipun. Ranah sains dalam pemahaman klasik hanya mampu menjawab fenomena empirikal dalam bentuk pengukuran dan timbangan yang terhingga terhadap materi. Malah sains modern sekelas teori fisika kuantum yang telah meretasi ketakterhinggaan materi juga tidak dapat menjelaskan tentang fenomena misterius ini. Sebab teori fisika kuantum tidak dapat diproyeksikan pada benda material seperti uang, baik untuk diadakan, didatangkan atau digandakan.
Bukan hal asing
Dalam pandangan agama berbicara mengenai hal yang metafisik, ghaib dan adikodrati bukanlah hal yang asing. Secara epistemologi ranah kajian Islam itu tidak hanya sebatas benda materi (mahsusat) tetapi merangkumi juga hal yang non materi yang dapat difikirkan (ma’qulat). Oleh karenanya, secara epistemologi ilmu Islam itu selangkah lebih maju dari epistemologi umum yang hanya terfokus pada hal-hal empirikal.
Pembahasan agama Islam juga mengakomodir fenomena luar biasa (miracle) yang terjadi dalam alam ini. Fenomena keajaiban ini memang berada di luar ranah saintifik, namun Islam mencoba membahasnya dengan pendekatan keyakinan dan perasaan intuitif. Keajaiban ini dalam terminologi Islam dikategorikan dalam beberapa istilah seperti mukjizat, irhas, karamah, maunah, dan sihir.
Mukjizat merupakan sebuah kejadian yang luar biasa yang diberikan Allah Swt kepada para rasul-Nya sebagai bukti kerasulan mereka. Sementara irhas adalah fenomena luar biasa yang ada pada calon rasul, seperti irhas Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi rasul di mana awan selalu menaunginya kemana saja beliau pergi. Tentunya mukjizat dan irhas ini telah berakhir dalam alam ini, seiring dengan berakhirnya pengutusan para rasul ke alam ini.
Selanjutnya karamah dipahami sebagai keajaiban yang menyertai kehidupan sebagian waliullah, sebagai anugerah karena kedekatannya dengan Allah Swt. Orang yang mendapatkan karamah ini adalah mereka ahli-ahli sufi yang telah melampaui batas syariat dan telah memasuki alam hakikat. Hidup mereka jauh dari kepentingan duniawi dan materi, apalagi pengandaan uang, emas batangan dan perhiasan mewah lainnya.
Sepertinya semua terminologi Islam tentang keajaiban ini sulit dihubungkan dengan sosok Dimas Kanjeng Taat Pribadi, kecuali terminologi sihir (kahin), yaitu keajaiban yang terjadi atas bantuan syaitan dan terjadi pada orang yang jauh dari ajaran agama. Hal ini mungkin terjadi pada figur Dimas Kanjeng Taat Pribadi mengingat berapa testimoni mantan pengikutnya bahwa ia tidak bisa membaca Alquran meskipun adalah pimpinan padepokan.
Terlepas dari apa sebenarnya yang terjadi pada fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi, apakah sihir ataupun penipuan. Yang jelas kita harus waspadai adalah bahwa kejadian semacam ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Untuk itu, sejatinya kita senantiasa mempersiapkan diri dengan bekal akidah islamiah yang kuat, menghiasi diri dengan amal ibadah yang benar dan mejauhkan diri dari ketamakan terhadap harta benda. Dengan cara itu insya Allah kita akan dapat meningkatkan spiritualitas, potensi panalaran rasio dan logika, sehingga tidak terjabak dalam prilaku yang menyimpang, menipu dan menyesatkan. Wallahu ‘alam bishawab.!
* Dr. Lukman Hakim A.Wahab, M.Ag., Dosen Prodi Ilmu Akidah dan Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, darussalam, Banda Aceh. Email: loekman_af@yahoo.com
Sumber
Pemimpin Tahta Suci Kerajaan Tuhan Lia Aminuddin alias Lia Eden telah menyebarluaskan 'wahyu Tuhan' yang ditujukan kepada sejumlah pihak. Salah satunya, Tuhan merasa kecewa atas sikap Kapolri yang tidak membela kerajaan Eden dan justru menangkap Lia Eden.
Menurut 'wahyu Tuhan' yang diturunkan pada Jumat, 14 November 2008, pukul 09.50 WIB dan ditandatangani oleh Jibril Ruhul Kudus pada 3 Desember 2008 itu, Tuhan awalnya menganggap Polri sebagai garda depan yang wajib mengamankan Kerajaan Eden.
Namun, kemudian 'Tuhan' kecewa. Sebab, Polri masih sependapat dengan para ulama yang telah terbukti sering berlaku tercela dan terbukti sebagai golongan yang tak dibela dan dimurkai.
"Selain itu, bukti-bukti kesalahan Lia Eden dan pengikutnya jelas tak ada. Apa yang harus disalahkan atas Wahyu-wahyu-Ku yang diemban mereka? Dan Polda Metro Jaya-lah yang pernah memeriksa mereka semua.
Kalau Polda Metro Jaya tak mau menaati-Ku, niscaya mereka tak berhati nurani dan tak tanggap pada kebenaran yang tersaji dari-Ku. Dan yang lebih jauh ialah Kuanggap mereka bersedia berlawanan langsung dengan-Ku.
Umat Islam sedunia sekalipun takkan sanggup meruntuhkan eksistensi Kerajaan Eden yang sedang siap Kubangun. Merekalah yang akan menjadi pecundang. Percayalah, justru Aku sedang ingin menyelamatkan kalangan umat Islam liberal dan moderat, dan menghakimi para teroris dan jaringan Islam garis keras."
Haidar Bagir[*]
Kembalinya yang suprarasional dan supranatural di abad posmo ini barangkali adalah salah satu di antara – meminjam istilah John Naisbitt – “paradoks global”. Jika mengikuti ramalan para filosof, sosiolog, atau antropolog yang menulis tentang agama, seperti Marx, Nietsche,Comte, Durkheim, Weber, Kahn, atau Sorokin, dan banyak lagi – maka seharusnya yang supranatural sudah lama pupus dari bumi manusia ini. Tapi, bukan hanya agama dan spiritualitas -- apakah ia disebut mistisime, aliran New Age, atau Frontier Aquarian -- ribuan organisasi kultus (cultic organizations) pun menjamur di seluruh bagian dunia. Kalau saya tak salah ingat, pada tahun 1974 saja Alvin Toffler telah mencatat bermunculannya lebih dari 4000-an paguyuban seperti ini di Amerika saja. Apa pasal?
Jawabannya bisa beragam. Yang paling bersimpati terhadap agama dan spiritualitas akan merujuk kepada apa yang diyakini sebagai fitrah spiritual manusia. Digebah-gebah seperti apa pun, diiming-iming dengan berbagai kenikmatan-duniawi selezat apa pun, ia tetap bercokol juga. Malah lebih kokoh lagi. William James – psikolog Amerika awal abad 20 yang disebut-sebut sebagai penganut “empirisisme- radikal” – adalah di antara yang mau bersusah-payah memahami dan mem-verifikasi” pengalaman religius demi membuktikan sifat fitri spiritualitas manusia ini. Juga Jung, Maslow, Alport. Yang lain mencari jawab pada “tirani” individualisme modern, impersonalitas teknologi maju, dan ketergesaan hidup yang diakibatkannya – hal-hal yang, pada gilirannya, mendorong orang untuk mencari kehangatan dalam pengalaman personal keagamaan. Ada juga yang mendiagnosanya sebagai semacam tetirah penuh nostalgia ke masa lampau yang, konon, memang menyusun bahan dasar psikologi manusia. Sedemikian, sehingga, bahkan sosiolog niragama sekelas Peter Berger akhirnya “dipaksa” menerbitkan The Desecularization of the World untuk merekam dan menjelaskan fenomena paradoksikal ini.
Kenyataannya, sudah lebih dari seabad lalu di negeri-negeri Barat-modern berkembang apa yang disebut sebagai Tradisionalisme. Istilah Tradisi yang menyusun kata ini merujuk kepada konsep yang menyatakan bahwa semua agama otentik berasal dari satu Tradisi Primordial. Maka, Tradisionalisme adalah sebuah faham yang berupaya untuk mengungkap Prinsip-prinsip pemersatu yang mendasari berbagai tradisi (agama) dunia. Tradisionalisme modern didirikan oleh filosof Prancis Rene Guenon (1886-1951). Di antara para tradisionalis lain termasuk para pemikir terkemuka seperti Julius Evola, Frithjof Schuon, Ananda K. Coomaraswamy, Lord Northbourne, Titus Burkhardt, Martin Lings, Seyyed Hossain Nasr, Whitall Perry, Robin Waterfield, Arthur Versluis, R.A. Schwaller deLubicz, dan William Stoddart. Mircea Eliade, Huston Smith, Jacob Needleman, Alain Danielou, and Joseph Campbell dapat pula disebut sebagai tokoh-tokoh yang bersimpati kepada faham ini.
Rene Guenon adalah seorang filosof Prancis yang sempat bekerja pada Institut Katolik di negeri itu, kemudian masuk Islam dan menggunakan nama Syaikh Abdul Wahid Yahya, dan belakangan pindah ke Kairo pada tahun 1930 hingga meninggal di sana 20 tahun kemudian. Faham Tradisionalisme itu sendiri berasal dari Perenialisme, sebuah aliran keagamaan dan filosofis yang didirikan di Florence pada masa Renesans.Memang, perenialisme Renesans meyakini bahwa seluruh agama dunia adalah ekspresi-ekspresi dari satu agama perenial asli, yang telah hilang. Agama perenial inilah yang dirujuk sebagai tradisi dalam Tradisionalisme itu.
Problem terbesar dari Tradisionalisme ini, sebagaimana diungkapkan oleh para kritikusnya, adalah absennya sikap kritis terhadap agama-agama, berlawanan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, digantikan dengan kelonggaran nyaris tanpa batas terhadap data agama yang mana pun. Sikap ini membawa sedikitnya tiga konsekuensi- berkaitan yang tidak diharapkan. Pertama, kecenderungan sinkretik Kedua, adanya pembacaan yang bersifat selektif terhadap agama-agama demi mendapatkan unsur-unsur yang bisa dilihat sebagai sama di dalam semua agama. Dan, ketiga, kecenderungan untuk menerima unsur-unsur kultus primitif yang menandai agama-agama atau kepercayaan- kepercayaan kuno, termasuk di dalamnya messianisme. Di luar itu, sejalan dengan kritik-kerasnya terhadap modernisme, agama perenial berpotensi mempromosikan irasionalitas dan, sebagai gantinya, memujikan perolehan kebenaran lewat semacam ilham, wangsit, atau wahyu yang tak bisa diverifikasi secara publik.
Konon, salah satu manifestasi cultic tradisionalisme ini muncul dalam tarikat yang dikembangkan oleh salah seorang murid Guenon, yakni Fritjof Schuon. Schuon awalnya adalah seorang disainer-tekstil dan visioner keturunan Franco-Swiss yang belakangan tertarik pada perenialisme. Mulai dengan bergabung dalam Tarikat Alawiyyah yang didirikan oleh Syaikh ’Alawi di Marokko, Fritjoff Schuon mendirikan sebuah Tarekat sendiri yang bernama Maryamiyyah di Amerika serikat, setelah kepindahannya ke negeri ini. Meski dibantah oleh para pengikut dan simpatisannya, dikabarkan bahwa tarikat yang berporos pada kepribadian Maryam (ibu Nabi ’Isa) ini memperkenalkan berbagai ritus yang ”aneh-aneh” termasuk dansa suku Indian, dan juga upacara yang mengharuskan para pesertanya bertelanjang badan. Akibat tuduhan ini, Schuon sempat digelandang polisi AS.
Sayangnya, kalaupun berita mengenai Schuon ini ternyata tidak benar, tersedia cukup contoh manifestasi perenialisme yang di dalamnya unsur-unsur kultus primitif ini tampil dominan. Kelompok ”Kerajaan Surga” Lia Aminuddin, tampaknya mencocoki penggambaran tentang gerakan agama perenial modern ini. Lepas dari apakah Lia dan kelompoknya mengikuti perkembangan gerakan internasional ini, kenyataannya ia menyebut diri dan pengikutnya sebagai penganut agama perenial semacam ini (Lihat Danarto, ”Sekadar Catatan tentang Lia Aminuddin”, TEMPO, .....). Di dalamnya ada kultus terhadap pemimpin yang dipercayai menerima wahyu dan diselimuti aura messianisme. Irrasionalitas, betapa pun atasnya diupayakan penjelasan-penjelas an apologetik, juga amat dominan. Hal ini antara lain tampil dalam bentuk penyandaran bukti kebenaran kepercayaan kelompok ini kepada keajaiban-keajaiban atau mu’jizat-mu’jizat yang diklaim telah diproduksi oleh Lia Aminuddin. Yang membedakan kelompok Lia dengan perenialisme a la Guenon atau Schuon adalah absennya wawasan dan elaborasi filosofis yang amat sophisticated.dalam kelompok yang disebut belakangan dalam kelompok yang dsebut terdahulu. Bahkan kritikus yang amat keras terhadap perenialisme mazhab Guenon ini, seperti Legenhausen, (Why I am not a Traditionalist) tak urung memuji kecanggihan kritik-kritik mereka terhadap modernisme serta keluasan wawasan mereka mengenai agama-agama dan berbagai aliran filsafat yang terkait dengannya.
Alhasil, kekuatan apakah yang sesungguhnya bekerja atas Lia Aminuddin? Yang paling mudah adalah mendiagnosa gejala ini sebagai sekadar kesurupan (possessed), produk delusi Freudian, atau penyimpangan- penyimpangan kognitif lainnya. Meski kemungkinan seperti ini jelas tak bisa segera disisikan, repotnya hujatan seperti ini selalu bisa ditudingkan kepada semua keyakinan keagamaan. Mengingat, kalau pun tidak irasional, unsur-unsur esensial dalam keyakinan keagamaan bersifat suprarasional dan mengandung juga hal-hal yang bersifat supranatural. Kenyataannya, memang, semua keyakinan keagamaan merupakan produk pengalaman religius yang subyektif. Padahal, (orang cenderung mengira bahwa) tak ada jalan untuk memberlakukan verifikasi publik atasnya. Bisa juga gejala ini dinisbahkan kepada kecupatan wadah spiritual untuk menerima pengalaman-pengalam an religius yang meng-”kudeta”. Sehingga, produknya adalah semburan ungkapan-ungkapan yang tak terkontrol (Meski mungkin akan banyak orang berkeberatan terhadap penjajaran Lia dengan para tokoh Sufi -- yang biasa disebut sebagai Sufi ”mabuk” (sakran) -- ungkapan-ungkapan seperti ini dalam terminologi tasawuf disebut sebagai syathahat atau syath-hiyat. Kenyataannya, pengalaman religius bisa, dan telah, terjadi pada banyak orang ”biasa”. Menurut penelitian, pemicunya bisa macam-macam : mulai pengaruh apresiasi karya seni, pemandangan dan keheningan alam, pelaksanaan ritual-ritual agama, hingga sekadar depresi).
Lalu, apakah menangkap Lia Aminuddin merupakan pemecahan yang bijaksana? Mengadilinya lebih problematik lagi – kecuali jika bisa dibuktikan adanya gangguan konkret yang ditimbulkannya, dan bukan sekadar ketaksepakatan orang banyak terhadap keyakinan kelompok ini (bagaimana bisa mengadili keyakinan subyektif?) Yang pasti, tindakan seperti ini hanyalah menyentuh puncak dari gunung es irasionalisme modern yang cenderung makin menggejala. Di belakang Lia Aminuddin, masih banyak, dan mungkin bertambah banyak, kelompok-kelompok kultus semacam ini. Kiranya hanyalah penanaman kemampuan berpikir rasional dan pengembangan penafsiran keagamaan yang mempunyai sifat samalah yang dapat mengurus dan mengatasi gejala ini. Dalam kaitan ini, berbagai acara ”mistik” dan ”takhyul-keagamaan” , serta praktik-praktik penyembuhan sejenis yang dikait-kaitkan dengan agama sama sekali tak membantu.
Namun, yang juga harus diingat, hendaknya kebutuhan akan rasionalitas ini tak mendorong kita untuk mencari pemecahan yang mudah dan potong kompas sedemikian, sehingga ia melucuti agama dari sifat-asasinya sebagai sumber dari kehangatan dan ketenteraman spiritual. Hal seperti ini pernah dicoba dilakukan, dan gagal, oleh proyek rasionalisme abad pencerahan atau pun modernisme religius yang puritanistik Kedua-duanya harus hadir bersama-sama dalam manifestasi agama yang sejalan dengan kebutuhan manusia dan peradabannya di masa depan : rasionalitas dan tawaran kehangatan spiritual. Dan bahan-bahannya bukannya sama sekali tak ada. Sekadar contoh, dalam Islam orang bisa belajar banyak dari tasawuf, khususnya yang filosofis (’irfan) atau pun filsafat iluministik (israqiyah atau hikmah). Dalam aliran-aliran mistiko-filosofis seperti ini, produk pengalaman religius didedahkan kepada prinsip verifikasi logis (koherensi).
Inilah sebuah pemecahan yang tampaknya tak memuaskan kaum ”liberal” yang menghendaki agama yang sepenuhnya rasional dan bebas dari misteri-misteri suprarasional dan supranatural. Apa boleh buat, tampaknya manusia – entah karena fitrahnya, atau sekadar kebutuhan-survival-nya – memang memerlukan lebih dari sekadar agama rasional yang kering, yang tak mampu menghangatkan jiwa. Dan jika keperluan ini tak terpuasi maka, persis seperti disinyalir Carl G. Jung, dikhawatirkan yang akan menyeruak dari kehidupan manusia adalah kekosongan makna, atau justru keterpurukan ke dalam irasionalitas religius.
[*] Penulis adalah Doktor di bidang Filsafat, salah satu pendiri dan dosen ICAS Jakarta, Pendiri Pusat Kajian Tasawuf Positif IIMaN, serta penulis Buku Saku Tasawuf dan Buku Saku Filsafat Islam.
Al-Qiyadah Menolak Fatwa MUI
Jumat, 26 Oktober 2007
Penodaan Agama
Timing, Jakarta: Pemimpin Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Ahmad Moshaddeq menolak fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan ajaran Al-Qiyadah sesat. Meskipun Ketua MUI KH Ma`ruf Amin di Jakarta, Kamis, 4 Oktober 2007 mengeluarkan fatwa bahwa aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah adalah sesat dan meminta pemerintah melarang penyebaran paham baru tersebut serta menindaktegas pemimpinnya.
Pendiri aliran itu, Ahmad Moshaddeq, yang sejak 23 Juli 2006 setelah bertapa selama 40 hari 40 malam mengaku dirinya mendapat wahyu dari Allah mengaku sebagai Rasul menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW.
Menurut Moshaddeq, syahadat kepada Al Masih Al Maw'ud (Ahmad Moshaddeq) tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Seperti halnya, ajaran Musa yang dimurnikan kembali oleh Isa.
Selain itu, aliran ini juga tidak mewajibkan untuk melaksanakan salat, melaksanakan ibadah puasa, menunaikan ibadah haji.
Moshaddeq adalah pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemerintah DKI Jakarta yang dulunya membidangi Olahraga. Ia mengaku aktif di Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI).
Sebelum membentuk Al-Qiyadah, Moshaddeq mengaku turut membangun KW-9 Negara Islam Indonesia (NII). “Panji Gumilang itu nggak ada apa-apanya,” ujarnya. Ia menganggap Kartosuwiryo adalah nabi dan mengagumi disiplin para pengikut KW-9. Namun, 10 tahun di NII tidak membuat dirinya puas sehingga ia keluar. (Harsa)